DEBAT 'SENIMAN DAN POLITIKUS'


Seniman dan Politikus, makhluk apakah dia. Pro-kontra seniman bermain di wilayah partai politik dan politikus mengobok-obok seniman, menjadi perdebatan panjang dan mengasyikkan di Harian Sumatera Ekspres. Perdebatan ini semula dari pertemuan seniman dan politikus di RM Pagi Sore (13/11/2008) yang diprakarsai anggota DPR RI Mustafa Kamal dari partai PKS. Dari reportase pertemuan itu, saya gulirkan lewat tulisan ‘SENIMAN DAN POLITIKUS’ di rubrik HORISON Harian Sumatera Ekspres. Tanggapan pun beragam, sebagian seniman setuju seniman masuk wilayah politik, sebagian lagi menolak seniman berpolitik. Nah bagaimana dengan Anda? Silakan Berdebat yang sehat, santun, dan berpikir merdeka. Artikel Debat Sumeks bisa dikirim via teje@sumeks.co.id atau teje21@yahoo.co.id. Semua artikel yang dimuat Harian Sumatera Ekspres akan diposting kembali di blog ini.


Debat berikutnya MENUJU INDUSTRI SENI.


Redaksi


@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Seniman Dan Politikus

T Junaidi

  • Wartawan Sumatera Ekspres dan Komunitas Seni

Mengikuti dialog seniman dan politikus di rumah makan Pagi Sore, Kamis (13/11) membuat otak saya berputar untuk menerjemahkan ‘Ada Apa Seniman dan Politikus?’ Pertemuan yang dihadiri para seniman gaek Sumsel ini merupakan pertemuan dalam rangka reses anggota DPR-RI Mustafa Kamal, dipandu Febri Al Lintani dan Anwar Putra Bayu. Tema yang diangkat adalah ‘Peran Budaya Lokal dalam Membangun Jiwa Bangsa’.

Mendengar topik yang dibicarakan itu, saya langsung tertarik, karena baru kali ini saya menjumpai dialog seniman bersama kalangan politikus. Pertanyaan simple di atas rasanya wajar, karena reportase saya sebagai wartawan yang merangkap sebagai komunitas seni. Seniman dan politikus, merupakan dua serangkai yang mestinya saling melengkapi.

Tapi pada kenyataannya, seniman selalu menjadi manusia yang termarginalkan dan selalu menjadi pelengkap kepentingan politik, dan kebijakan pemerintah. Seniman seperti bola mainan yang ditendang ke sana kemari. Pada saat dibutuhkan, seniman dielus-elus dan diangkat derajadnya agar seni memainkan bola bisa menggelinding cantik ke gawang lawan.

Maaf, saya tidak apatis mengikuti pertemuan seniman dan politikus di RM Pagi Sore itu. Tidak juga terlalu idealis menilai sebuah konspirasi politik menuju pemilu 2009–seperti dikatakan Yan Romain Hamid (seniman teater), terlepas dari masalah politik. Lupakanlah itu, yang terpenting bagaimana membangun seni budaya lokal secara konkret.

”Kenapa tidak sejak dulu peran budaya lokal ini diperhatikan. Kenapa ketika di ujung masa jabatan baru teringat seniman dan peran seni budaya lokal? Jangan sampai masalah tempe atau pempek akhirnya juga diakui Malaysia dan Jepang,” kata Yan Romain. Terlepas dari muatan politis, saya menangkap sisi positifnya saja; ya semuanya baik.

Dialog seni baik. Merumumuskan kebijakan seni budaya secara politik, juga baik. Setidaknya itu yang ditunggu-tunggu di saat seni budaya lokal ‘nyaris’ kehilangan jati diri. Harapan kita, lewat dialog seni tersebut harus bisa diwujudkan menjadi agenda konkret sebagai upaya menguatkan keberadaan peran budaya lokal di tengah gerusan budaya modern. Pemerintah daerah, legislatif, seniman harus lebih serius memperhatikan seni budaya Sumsel.

Jika diperlukan, pemda membuat peraturan daerah (perda) untuk membangun keberadaan budaya lokal tersebut. Seni budaya lokal ini kalau kita terjemahkan adalah berbagai kegiatan tradisional lokal, masyarakat budaya yang mempertegas substansi sebagai sebuah kebudayaan.

Diakui atau tidak, banyak seni budaya Sumsel yang terancam punah. Sastra tutur yang sudah ada sejak dulu, kini berangsur-angsur hilang. Dulmuluk juga nyaris tercerabut dan tinggal nama. Lantas apalagi yang bakal digerus oleh budaya-budaya global? Semangat, kepedulian dan komitmen wakil rakyat dan pemerintah daerah, harus didukung sepenuhnya oleh para pelaku seni, yang merupakan matarantai yang tidak boleh diputus.

Kebijakan politik lokal terhadap program seni budaya tidak bisa dilepaskan dari konsep politik kebudayaan yang mencakup ruang lingkup di dalamnya, yaitu masyarakat, seniman, budayawan, lalu lembaga negara, eksekutif dan legislatif. Konsep tersebut lantas dirumuskan ke dalam sebuah kebijakan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Proses kehidupan yang didesain dan di-setting berkelanjutan, kemudian dijalankan secara terus-menerus oleh masyarakat, itulah proses yang akan membentuk menjadi budaya lokal. Proses pengambilan keputusan yang tidak sejalan kadang dianggap menjadi batu sandungan.

Tak heran kalau kebijakan bidang kebudayaan sering termarginalkan. Apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan formal DPR atau pemerintah/birokrasi, kurang mampu menegaskan otoritas identitas budaya lokal, antara modernisme dan tradisionalisme atau antara pra-modern dengan post-modern. Kebijakan peraturan daerah (Perda), termasuk program seni budaya, seharusnya diorientasikan pada nilai kultural.

Meminjam pendapat JJ Polong, seniman yang juga aktivis petani, membicarakan seni budaya lokal, harus didasari pengetahuan lokal dan kearifan lokal. Kita baru merasa gelisah setelah kebudayaan lokal tergerus oleh kebudayaan yang lain. Bagaimana masyarakat pelaku budaya mampu menjadi koridor budaya lokal yang berbasis pada kearifan lokal? Apapun kebijakan kebudayaan dalam mencitrakan Sumsel, harus berorientasi pada pengembangan lokalitas yang berbasis pengetahuan lokal.

”Ketika orang lain baru bisa mengasapi ikan, Palembang ternyata sudah bisa bikin pempek,” kata JJ Polong. Pengetahuan local dan kearifan lokal ini sebagai bagian dari harga tawar kesenian dan budaya lokal, untuk menentukan frame dan posisi ke depan di tengah arus gempuran kebudayaan global. Politik merupakan ’sarana’ untuk mencapai ‘tujuan’ kebudayaan. Persoalannya, apakah tujuan itu sudah dirumuskan dengan baik dan jelas? Apakah sudah bisa dipahami bersama antara seniman, legislative, eksekutif dan masyarakat?

Jangan-jangan ini hanya dialog warung kopi belaka. Hari ini ngobrol kebudayaan, ketemunya di warung kopi yang sama dengan topik yang berbeda. Yang penting adalah manifestasinya membangun seni budaya lokal agar tetap eksis dan punya peran.

Saya pernah membaca festival seni budaya yang digelar di halaman Museum Benteng Kuto Besak (BKB) beberapa waktu lalu. Pergelaran tersebut sangat memprihatinkan. Mengapa, karena nyaris tidak ada penontonnya, kecuali para wartawan yang memang mendapat tugas liputan. Peristiwa budaya seperti ini bagai menepuk air didulang, terpercik dimuka kita sendiri.

Kita mengagung-agungkan seni budaya sekaligus sebagai tuan rumah kunjungan wisata, tapi pergelaran gratis untuk umum itu justru tidak ditonton masyarakat. Padahal pergelaran seni budaya tersebut diikuti sejumlah grup dari berbagai propinsi di Sumatera. Tanya mengapa? Apakah pergelarannya kurang baik?

Saya sendiri sering terjangkit penyakit lupa, bahwa di depan mata kita ada ribuan produk seni lokal yang bisa mencitrakan Sumsel ke tingkat Internasional. Tapi saya juga lupa bagaimana caranya? Kita harus kembali kepada tanggungjawab moral kita terhadap seni budaya lokal milik kita. Pengetahuan lokal dan kearifan local. Kembali pada konsep politik kebudayaan yang mencangkup ruang lingkup didalamnya, ya seniman, ya budayawan, ya lembaga negara, ya eksekutif, ya legislative.

Kasus ‘Pergelaran Seni Budaya’ tanpa penonton’, harus dijadikan pertanyaan buat kita sendiri, mengapa? Kalau masyarakat belum tahu bakal ada pergelaran seni, mestinya ya harus disosialisasikan. Kalau sudah disosialisasikan masih tidak ada yang nonton, mungkin waktunya yang tidak pas. Bila waktunya sudah pas masih juga tidak ditonton? Ya inilah PR kita bersama! Mengapa?

Senin, 29 Desember 2008

Seniman Harus Berpolitik

Seniman Harus Berpolitik

(Tanggapan atas tulisan T. Junaidi)

Oleh Imron Supriyadi

Penulis adalah pelaku sastra tinggal di Tanjung Enim

foto-imron-021

Menyimak tulisan seorang jurnalis dan pelaku sastra, T. Junaidi berjudul Seniman dan Politikus, (Sumeks Minggu 16/11) paling tidak ada beberapa hal yang kemudian menjadi menarik untuk dikedepankan. Dalam tulisannya, penulis novel Perempuan Sungai ini menyebut adanya paradok antara realita dan kenyataan dalam konstelasi politik dan seniman. Politikus dan seniman yang seharusnya saling melengkapi, tetapi faktanya seniman sering menjadi kelompok yang terpinggirkan. Lebih ironis T Junaidi menulis, seniman cenderung dijadikan pelengkap penderita (baca ; kepentingan) politik.

Menurut saya, ungkapan ini adalah bagian dari sikap pesimisme (baca; ketidakpercayaan) seorang T Junaidi terhadap kepedulian politikus pada seniman. Ungkapan ini tentu bukan tanpa alasan. Sebab, sikap apatis (tidak mau tahu) para politikus (anggota Dewan) terhadap seniman bukan kali pertama terjadi. Perjalanan seorang T Junaidi dalam kancah kesenian Sumsel bersama teman seniman lainnya merupakan fakta getir betapa seniman dan aktifitasnya selalu mendapat tanggapan yang tidak serius dari berbagai pihak, termasuk dari sejumlah anggota dewan. Dalam rentang waktu yang demikian panjang, pelaku seni seperti Darto Marelo dan Evan Fajrullah terpaksa ’menutup malu’ untuk mengedarkan list donatur untuk biaya pemberangkatan seniman ke sebuah event di luar kota. Ironis memang. Tetapi ini fakta sejarah.

Dan baru pekan lalu ada hearing antara seniman dan budayawan yang duduk bersama dalam acara reses anggota DPR-RI dari salah satu partai politik Islam. Menyimak tulisan T Junaidi tentang reses itu, dalam benak saya spontan muncul ungkapan ; sandiwara apalagi yang akan dilakukan oleh anggota Dewan terhadap seniman? Inilah yang kemudian dipertanyakan pekerja seni teater, Yan Romain, mengapa dialog antara seniman baru dilakukan menjelang masa akhir jabatan? Bukankah ini hanya sebatas ingin meraup suara dari kalangan seniman?

Saya ingin mengingatkan kembali pada T Junaidi dan Yan Romain. Adalah fakta sejarah, dalam politik tidak ada persahabatan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Tidak berbeda jauh pada acara reses dengan anggota DPR-RI di RM. Pagi Sore pekan lalu; yang ada hanya kepentingan! Seniman didudukkan sebagai pesakitan, untuk menceritakan beberapa penyakit, lalu anggota dewan laksana seorang dokter yang berjanji akan mencarikan obat di kursi parlemen bagi para seniman. Tetapi setelah mendapatkan obat, ternyata belum cocok untuk para seniman. Obat yang ditemukan baru cocok untuk dirinya sendiri. Dari penghasilan dan kewenangannya, sang anggota dewan harus mengobati dirinya sendiri dulu, karena dia sudah terlalu lama mengidap ’sakit perut’ karena menahan haus dan lapar. Sebelum duduk di kursi parlemen, tidak ada yang dijual, jangankan ’menjual’ cerpen, opini, essay atau novel sebagaimana seniman, untuk sekedar mencukupi keluarganya saja sudah kesulitan. Dan ketika bangkit dari pertemuan itu, sang anggota dewan berucap; maafkan saya teman-teman seniman, saya akan mencukupi keluarga saya dulu, baru nanti menjelang akhir jabatan saya akan menemui anda lagi untuk lima tahun kedepan.”prek!” batin saya mengumpat.

Dari realitas ini, saya katakan ; SENIMAN HARUS BERPOLITIK! Sebab tanpa berpolitik, seniman akan diombang-ambingkan dalam proses politik. Bila dalam kurun waktu sepuluh tahun lebih tidak ada anggota dewan yang peduli terhadap seniman, itu lebih disebabkan anggota dewan memang tidak banyak mengetahui tentang visi dan etika politik kebudayaan di Sumsel, apalagi kebutuhan mendasar kalangan seniman. Sungguh! jauh panggang dari api. Yang ada selama ini, hanya anggota dewan yang pernah ‘berkawan’ dengan seniman. Setelah itu ; selamat tinggal seniman. Namun begitu, ini bukan kemudian menjadi justifikasi (pembenaran) sikap anggota dewan untuk tidak peduli pada seniman. Sebab secara sadar atau tidak, salah satu kelompok masyarakat yang diwakili di parlemen adalah kalangan seniman. Hanya saja, upaya seniman yang selama ini telah menggedor kesadaran kepedulian anggota dewan pada seniman belum secara serius mendapat respon positif.

Melalui tulisan T Junaidi pekan lalu, minimal dapat menjadi catatan penting bagi para seniman untuk kemudian bangkit untuk membangun visi politik, agar tidak terombang-ambing oleh proses politik, atau dikorbankan partai politik demi kepentingan tertentu. Politik dalam konteks ini, bisa politik praktis atau politik praktis aplikatif. Politik praktis, di masa mendatang, sebagian seniman memang harus mulai berpikir ulang untuk masuk dalam sistem. Tidak bisa kita untuk mewarnai sistem bila kita terus menerus berada diluar. Bagaimana mungkin kita akan mengecat rumah, sementara kita hanya berada di luar dengan menciprat-cipratkan cat di tembok-tembok parlemen? Maka, kita sebaiknya ada sebagian yang masuk ke dalam sistem. Tujuannya membawa visi dan misi seniman sekaligus membangun kepedulian seni budaya melalui gedung parlemen. Target paling minimal adalah, para seniman tidak akan terlihat lagi yang menjadi ’pengemis jalanan’ dengan mengedarkan list donatur dari pintu ke pintu, hanya untuk biaya pementasan dan diskusi budaya, tetapi cukup didanai oleh beberapa seniman yang duduk di parlemen. Bukankah itu bagian kecil dari kepedulian yang selama ini terlupakan? Tetapi pertanyaannya adalah seberapa kuat ideologi seniman di parlemen untuk tetap menjaga ’amanat seniman’ ketika dia sudah duduk di kursi dewan?

Kedua, politik praktis aplikatif. Dalam konteks ini, politik dijadikan sebagai bagian strategi untuk menyiasati agar kreatifitas seniman bisa laku jual di pasaran. Selama ini banyak karya tercipta (lukisan, patung, kaligrafi, puisi, cerpen dan novel). Tetapi berapa banyak karya yang mampu menjadi maskot kesenian dan budaya Sumsel di mata publik? Berbagai ikon-ikon sangat minim ke permukaan. Nah, untuk melakukan ini (publikasi) perlu ada politik praktis aplikatif, dalam konteks politik enterpreunership (kewirausahaan), sehingga karya cipta seni dari seniman Sumsel mampu hidup dan menghidupi keluarga sekaligus menghidupi iklim berkesenian di Sumsel.

Dua Egoisme

Untuk mewujudkan ini, seniman yang murni berkarya sebaiknya mulai menurunkan dua ’egoisme’. Pertama; egoisme anti kapitalis. Acapkali, karena takut disebut tidak idealis, seorang seniman mengatakan ; seniman itu anti kapitalis (pemodal). Apa yang kemudian terjadi? Karya tinggal karya. Tak ada yang bisa muncul kepermukaan. Persoalnnya sepele, tidak ada dana! Oleh sebab itu melalui politik praktis aplikatif dalam konteks bisnis, bukan berarti harus ’menggadaikan’ idealisme seniman. Sama sekali tidak bermaksud kesana. Tetapi tanpa kita sadari, karya seni memang sudah wajib bersentuhan dengan dunia industri? Pasalnya bagaimana mungkin karya seni akan dapat menjadi ’ladang’ seniman bila menolak dengan industri? Kapitalisme tetap harus dilawan dengan kapitalisme. Dalam sejarah, tidak selamanya kapitalisme bisa dilawan dengan sosialisme. Tinggal yang menjadi pilihan adalah, bentuk kapitalisme bagaimana yang harus ditumbuhkembangkan dalam konteks berkesenian di Sumsel?

Kedua, egoisme aku lebih hebat. Walau ini subjektif, tetapi ada kesan bahwa salah satu hambatan, mengapa iklim berkesenian di Sumsel tidak dinamis, karena ada sikap egoisme aku lebih hebat. Dengan egosime ini tanpa sadar telah mencabik-cabik nilai-nilai luhur pada diri setiap seniman. Akibatnya seniman tidak pernah bisa saling memahami satu sama lain, mengumpulkan kelebihan dan kekurangan masing-masing seniman, untuk kemudian saling mendukung, saling mengisi titik kurang dan mengangkat titik lebihnya. Bila ini yang selalu dimunculkan, maka kita sedang terjebak pada krisis eksistensi. Kita sedang sakit jiwa; butuh pengakuan publik; aku lebih hebat. Padahal, hebat, terkenal, eksis di mata publik bukan oleh diri kita sendiri, tetapi membutuhkan orang lain. Ini dua ’penyakit’ yang mungkin harus sesegera mungkin untuk diobati.
Dengan demikian, saat ini sudah waktunya seniman praktisi (seniman murni), berkolaborasi (bekerjasama) dengan pelaku seni yang memilki visi politik enterpreuner (kewirausahaan) yang praktis aplikatif, sehingga karya seni harus mulai bersentuhan dengan manajemen bisnis. Ini dilakukan untuk mengurangi ’kepedihan’ teman-teman seniman seperti nasib seorang T Junaidi dan Syam Asinar Radjam, yang sampai saat ini novelnya baru bisa tampil di internet tanpa honorarium. Tak sesiapa yang berminat membukukan sebagaimana novel Laskar Pelagi Andrea Hirata. Kalau kita bisa membeli lilin dan mengumpulkan kayu dalam satu ‘ikatan api’ untuk ‘membakar’ semangat iklim berkesenian, mengapa kita memilih menjadi ranting-ranting kecil tercerai berai yang setiap kali hanya dipatahkan oleh para pengembara? (*)

BTN Krg. Asam

Tanjung Enim, 18 November 2008

SENIMAN BERPOLITIK ATAU POLITIKUS BERKESENIAN?

Seniman Berpolitik atau

Politikus Berkesenian?

(Tanggapan atas tulisan Imron Supriadi)

Oleh : Nurhayat Arif Permana

arif5Tulisan Imron Supriadi pada Sumeks, 23 November 2008 sangat menggelitik. Dan ini akan menjadi guliran opini yang menarik, karena tulisan itu merupakan tanggapan tulisan T Junaidi tentang penting tidaknya seniman berpolitik dan seniman yang selalu menjadi komoditas politikus. Saya ingin berurun pendapat yang mudah-mudahan tidak memperkabur posisi seniman di mata pemerintah dan masyarakat.

—–

Kata “seniman” seperti sebuah privelege yang muncul dari kosmos ruang angkasa; asing, aneh dan seperti tak berpadan. Kata ini yang seringkali menjebak dan karena itu banyak tidak dimengerti lalu akhirnya menimbulkan purbasangka. Mungkin seniman adalah satu-satunya di dunia ini yang punya status sosial tak jelas. Orang hanya mengenal pelukis, penari, aktor, penghibur, penulis (sastra), perancang, dan seterusnya sebagai sebuah profesi. Sama dengan pedagang, pegawai, polisi, banker atau broker. Jadi kalau Anda menyebut diri seniman, jangan tersinggung kalau banyak yang yang tak mengerti spesifikasi khusus pekerjaan Anda. Inilah yang menurut saya kemudian seringkali terjadi unlink dan unmatch- nya dengan lingkaran lain, misalnya politikus. Politikus pun sering diterjemahkan sebagai orang-orang yang terjun di wilayah politik. Tetapi pertanyaannya, apakah politikus juga sebuah profesi? Saya kok meragukannya karena politik itu sistem yang ada bersamaan dengan adanya manusia. Iya lah, kancil kan tidak mungkin berpolitik. “Cerita Kancil dan Buaya” misalnya itu hanya fabel yang “mengajari manusia” bagaimana hebatnya hewan kecil itu mengakali buaya. Hewan yang bisa berpikir dan berperilaku serupa manusia, jangan dibalik.
Saya menangkap Imron ingin mengatakan seniman harus masuk partai yang kemudian duduk di lembaga perwakilan bernama parlemen. Karena selama ini suara seniman tak pernah sampai ke lembaga perwakilan. Artinya seniman ternyata tak mewakili siapa-siapa dan apa-apa. Makanya harus jelas dulu suara seniman itu mewakili siapa. Toh kepentingan orang yang ingin duduk di parlemen itu mencari dan mengusung suara. Kalau toh ternyata memang seniman punya suara, apakah cukup untuk kuorum? Inilah yang kemudian membuat orang-orang yang duduk di parlemen menjadi apatis, bagaimana cara menyalurkan suara seniman. Padahal produk parlemen yang paling utama adalah merancang undang-undang dan turunannya. Inilah yang dikehendaki kelompok seniman, yaitu perda (peraturan daerah) tentang kesenian. Jika perda itu disahkan, maka anggaran kegiatan seniman itu tidak hanya tergantung hanya dari pos-pos anggaran dinas-dinas saja, seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Tetapi apakah itu berarti seniman harus “berpolitik”? Berpolitik dalam arti bermain dalam sistem saya setuju, namun sistem dimaksud tentu tidak hanya dalam wilayah politik praktis, yang harus mendudukkan seniman di parlemen. Soalnya saya khawatir, jika seniman sudah menjadi anggota parlemen, jangan-jangan dia menjadi tambah bingung dengan “profesi” barunya: seniman atau politikus, yang sama tak jelas dua-duanya. Apakah seniman yang berpolitik atau politikus yang berkesenian. Makanya menurut saya yang paling penting itu seniman harus berkarya, jika profesi dan statusnya ingin diakui. Seniman (sebenarnya kata seniman juga tak pas dari konteks bahasa, yang benar itu seniwan. Kan ada seniwati, bukan senimati) harus berpolitik dalam konteks karya. Kepalang Imron sudah mencontohkan Andrea Hirata, saya ingin mengambarkan bahwa ada sisi lain yang menarik dari lelaki Belitong ini. Waktu pulang dari Bangka beberapa minggu lalu, saya berdiskusi dengan kawan-kawan di sana tentang kehadiran Andrea. Penulis ini bukan saja cerdas luar biasa, tetapi juga cerdik. Isi kepalanya penuh dengan strategi dan dia menciptakan banyak pintu untuk merealisasikan gagasan-gagasan besarnya. Laskar Pelangi itu hanya salah satu pintu masuknya, yang kemudian sangat sukses merebut hati banyak orang. Pintu lainnya adalah film, blog, negoisasi, pengaburan persepsi dan seterus dan seterusnya. Makanya dia tak terlalu enjoy disebut sastrawan atau penulis sastra, karena itu bukan tujuan akhirnya. Tidak banyak manusia di dunia ini yang punya kemampuan seperti itu, salah satunya barangkali Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte. Kita bisa mencatat, pemimpin besar Nazi, Hitler, adalah penulis puisi yang baik. Juga Che Guevara, Abraham Lincoln dan jangan lupa Bung Karno. Malah, Leonardo da Vinci, sekarang tidak lagi dikenal hanya sebagai pelukis Monalisa dan The Last Supper. Tetapi pencipta tak kurang dari lima puluh penemuan baru, dengan beragam bidang keilmuan. Hebatnya lagi, dia pun pencipta kode-kode yang kini popular dengan sebutan da Vinci Code.
Jadi cita-cita menjadi seniman atau politikus itu menurut saya terlalu rendah, apalagi sekadar seniman yang berpolitik. Dan kalau Imron menyarankan agar seniman harus berpolitik, itu tambah membikin bingung. Subjeknya tak jelas, objeknya pun fatamorgana.(*)

Minggu, 28 Desember 2008

Politik No, Seni Yes

Politik No, Seni Yes!

Sumeks Minggu 7 Desember 2008

* (Tanggapan Artikel Seniman Berpolitik atau Politikus Berkesenian)

Oleh Burmansyah

Penulis adalah penikmat karya seni yang berdomisili di Palembang

boman1

Menilik artikel Nurhayat Arif Permana (biasa disapa Arif), “Seniman Berpolitik atau Politikus Berkesenian” yang dimuat di Sumatera Ekspres (30/11/2008) sebagai klarifikasi tulisan Imron Supriyadi (akrab dipanggil Imron) yang berjudul “Seniman Harus berpolitik” di harian yang sama (23/11/2008) seakan mengundang senyum pembaca. Tulisan kedua pelaku sastra itu boleh dibilang klaim politik dalam seni yang disajikan secara serius tapi santai atas wacana “seniman dan politikus” (Sumatera Ekspres, 16/11/2008) yang pertama kali dilontarkan T Junaidi.

Dalam hal ini, baik Arif maupun Imron seakan menjadikan wacana tersebut sebagai mata rantai sikap berkesenian, di mana politikus sedang gencar-gencarnya mengambil hati para seniman dan seniman pun mulai berpolitik. Imron menuding T Junaidi telah gagal dan bersikap pesimistis atas keadaan seniman di tengah maraknya perebutan kursi kekuasaan eksekutif maupun legislatif, sementara Arif berusaha mempertegas bahwa seniman berpolitik yang dimaksud Imron itu hanya sebatas sistem (cara) seniman melobi para politikus melalui aturan, bukan berarti seniman harus menjadi anggota legislatif atau partai politik. Toh, mana ada fraksi khusus seniman di parlemen, bukan?

Argumen Arif maupun Imron mungkin beralasan, di mana kedekatan antara seniman dan politikus (anggota dewan) hanya sebatas kepentingan. Para politikus sengaja merangkul seniman demi kepentingan pribadi atau golongan, sementara seniman berkepentingan untuk mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, tak jarang para politikus itu hanya memperalat seniman. Maka dari itu, seniman yang berpolitik dengan tujuan agar tidak mudah dipermainkan oleh para politikus. Namun sayang, konsep berkesenian yang dipaparkan Arif maupun Imron belum sepenuhnya menjangkau pesan moral yang tersirat dalam pemikiran T Junaidi, sebagai berikut:

Kebijakan politik lokal terhadap program seni budaya tidak bisa dilepaskan dari konsep politik kebudayaan yang mencakup ruang lingkup di dalamnya, yaitu masyarakat, seniman, budayawan, lalu lembaga negara, eksekutif dan legislatif. Konsep tersebut lantas dirumuskan ke dalam sebuah kebijakan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Proses kehidupan yang didesain dan di-setting berkelanjutan, kemudian dijalankan secara terus-menerus oleh masyarakat, itulah proses yang akan membentuk menjadi budaya lokal.” (T Junaidi dalam “Seniman dan Politikus”, Sumatera Ekspres, 16/11/2008).

Kendatipun politik seni praktis (aplikatif) yang dikemukakan Imron harus berhadapan dengan sistem politik seni plastik milik Arif yang, tentu saja harus disandarkan pula pada kebijakan politik lokal terhadap masyarakat dan seniman itu sendiri, termasuk lembaga negara, baik eksekutif maupun legislatif. Artinya, sikap berkesenian Imron bisa saja menjadi bumerang bagi seniman yang bermuka dua, bermanis-manis di depan penguasa/pejabat, tapi menghujat dari belakang. Mungkin boleh dikatakan, seniman yang berpolitik kadang tidak lagi murni berkesenian. Kalau seniman harus berpolitik, lantas apa bedanya dengan politikus. Jika politikus identik dengan perebutan tampuk kekuasaan, barangkali seniman yang berpolitik cenderung memperebutkan proyek kesenian.

Politik berkesenian masyarakat Sumatera Selatan jauh berbeda dengan apa yang pernah saya amati di Pulau Dewata. Misalnya, kemampuan mengukir atau memahat patung bagi orang Bali sudah tidak diragukan lagi. Para pematung tidak perlu sekolah khusus, bahkan hanya melihat saja sudah bisa meniru. Di balik itu, peniruan-peniruan dalam produksi patung tradisional memang sudah dianggap biasa yang dilakukan oleh masyarakat Bali, bahkan merasa bangga kalau bentuk tersebut ditiru/disenangi dan berguna bagi orang lain. Hal-hal yang bersifat original dan inovatif tak selalu mendapat perhatian masyarakat pengrajin dan belum jadi suatu kebutuhan yang mutlak dalam upaya melindungi hasil karya mereka. Seniman Bali tidak merasa khawatir karyanya dibajak, karena pemerintah daerah tersebut benar-benar memberikan perlindungan dan fasilitas kepada seniman patung khususnya. Artinya, politik yang digunakan pemerintah daerah setempat jelas terlihat dalam pembangunan seni dan budaya Bali.

Terlepas dari itu, seniman yang berpolitik menjadi bagian dari hak asasi manusia dengan pilihan sadarnya. Tapi biasanya, seniman politik itu identik dengan uang yang diperoleh bukan lagi mendasarkan karyanya, bisa saja dari hasil sikut-menyikut antara kawan dan lawan selama berkesenian. Inilah paradoks kesenian kita yang sublim. Bukankah dalam berkesenian, kebanyakan orang mengatakan “Politik no, seni yes”. Kendatipun ada pencampuran keduanya (politik dan seni), toh itu harus dikembalikan lagi pada kemerdekaan seniman itu sendiri. Saya hargai dan hormati seniman yang berpolitik, semoga mereka menghormati saya.

Sementara itu, indikasi korupsi dalam seni pun tidak dapat dipungkiri. Jatah atau peluang untuk studi, kolaborasi, apresiasi, hingga pentas seni di dalam atau ke luar negeri banyak yang jatuh di tangan segelintir seniman (proyek) atau lingkaran tokoh/dinas/lembaga seni tertentu. Dana yang didapat dari negara, daerah, kabupaten/kota kadang tidak didistribusikan secara “terbuka” kepada seniman sebagai stakeholder, tetapi hanya menjadi fasilitas sebagian kecil seniman (proyek) di lingkaran kekuasaan sebuah dinas/lembaga seni. Sudah saatnya, seniman menegakkan mimbar, forum, atau sebuah lembaga tertentu yang berkompeten mengaudit secara terbuka para pejabat, politikus seni beserta tokoh/lembaga kesenian yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah. (*)

Perda Kesenian

Perda Kesenian,

Jangan Ada Dusta Diantara Kita

(Tanggapan atas tulisan Burmansyah dan T Wijaya)

Oleh Imron Supriyadi

(Penulis adalah Pelaku Sastra tinggal di Tanjung Enim)

foto-imron-01

Tulisan Burmansyah-Bur, (penikmat karya seni) dengan judul;”Politik No, Seni Yes” dan T Wijaya-Tewe (pelaku seni) dengan judul ”Kapan Pengurus Dewan Kesenian Gajian” di Sumatera Ekspres (7/11/2008), secara eksplisit tidak ada hubungannya. Tetapi secara implisit, sa

ya menangkap adanya kesamaan keinginan dari keduanya terhadap upaya perbaikan iklim berkesenian di Sumatra Selatan. Ada benang merah yang dapat saya ambil dari dua tulisan itu. Paling tidak, baik Bur maupun Tewe sedang menawarkan konsep terhadap perlunya sebuah sistem yang kuat di Sumsel, yaitu perda atau payung hukum versi Tewe, maupun perlindungan dan fasilitas versi Bur, sehingga pelaku seni memiliki posisi tawar, baik di mata masyarakat maupun di mata pemerintah. Tujuannya, agar iklim berkesenian di Sumsel akan terciptak ’warna baru’ bagi masyarakat, sebagaimana disebut Bur dengan mengkomparasikan antara iklim berkesenian Sumsel dengan Bali.

Dua keinginan Bur dan Tewe, saya pikir bukan hanya menjadi harapan dan ’mimpi’ setiap para pelaku seni saja, melainkan masyarakat pecinta seni di Sumsel. Tetapi upaya mewujudkan pikiran Tewe terhadap perlunya Peraturan Daerah (Perda) Kesenian dan tulisan Bur yang menyebut perlunya perlindungan atau fasilitas bagi pelaku seni sebagaimana di Bali, bukankah itu memerlukan satu tim yang solid, kuat, profesional, legitimate secara konstitusional baik di mata masyarakat maupun di mata pemerintah? Pertanyaan saya terhadap Bur adalah; sekarang lembaga apalagi yang lebih legitimate dan konstitusional untuk menggol-kan sebuah gagasan kalau bukan lembaga partai politik, untuk kemudian menyusun kekuatan di parlemen? Kita tidak mungkin melakukan ’jihad’ ala Amrozi Cs untuk mencita-citakan munculnya perlindungan dan fasilitas bagi pelaku seni sebagaimana disebut Bur yang membaggakan Bali.

Dimata saya, bila pelaku seni masuk dalam tubuh parlemen bukan kemudian harus berebut proyek kesenian, sebagaimana yang dituduhkan Bur dalam tulisannya. Bila targetnya itu, maka nasib pelaku seni tak ubahnya seperti saat ini, menjadi korban politik, membuat kesenian program—meminjam istilah Anwar Putra Bayu, atau Dewan Kesenian Sumsel (DKSS) hanya mampu mengundang Teater Jakarta tanpa bisa memberdayakan sumber daya pelaku seni di Sumsel. Saya ingin mengatakan, masuknya pelaku seni ke dalam parlemen, mengutip Budayawan di Tanjung Enim–Eko Wahyu, minimal akan muncul nilai-nilai kepatutan yang selama ini menjadi ’ruh’ karya seni dan pelaku seni itu sendiri. Meskipun, Eko Wahyu membalikkan logika, bukan seniman harus berpolitik, tetapi politikus yang harus belajar seni, supaya ada seni dalam berpolitik, sehingga nilai-nilai ke-arifan dan kepatutan pelaku seni sebagai manusia akan lahir dan melahirkan kebijakan yang manusiawi dalam konteks berkesenian melalui parlemen.

Terlepas dari hal itu, terhadap Bur saya katakan agar mencermati kembali tulisan saya sebelumnya (Seniman harus Berpolitik), yang sebenarnya secara implisit telah menjawab tulisan T Junaidi-Teje, Seniman dan Politikus, di Harian Sumatera Ekspres (16/11/2008), tentang perlunya sistem politik lokal terhadap seni budaya, yang kemudian dirumuskan dalam sebuah kebijakan. Justru dengan gagasan saya terhadap pentingnya pelaku seni masuk ke dalam parlemen, menjadi bagian kecil dari jawaban saya. Paling tidak dengan masuknya pelaku seni di parlemen akan ada harapan, atau dapat membantu mendorong proses percepatan munculnya kebijakan politik lokal untuk kemudian bisa mewujudkan impian Bur tentang perlindungan dan fasilitas kesenian dan impian Tewe terhadap pentingnya Perguruan Tinggi Seni di Sumsel. Ini hanya salah satu alternatif saja. Selain itu, gerakan ekstra parlemen tetap saja menjadi pilihan lain, ketika proses melalui parlemen itu gagal. Tetapi menurut saya harus ada keseimbangan, antara konseptor di luar parlemen dan ’wakil pelaku seni’ di parlemen. Ini yang saya katakan, pelaku seni di parlemen juga harus mengukur diri terhadap kekuatan ideologi dan konsepnya terhadap upaya menciptakan ’iklim baru’ dalam konteks berkesenian. Tanpa menimbang kesiapan ideologi pelaku seni dalam menghadapi serangan ’syahwat politik’ di parlemen, saya kira juga tindakan yang ceroboh. Tanpa kematangan konsep dan ideologi yang dimiliki seorang pelaku seni di parlemen, timbulnya seperti yang dikhawatirkan Nurhayat Arief Permana, yaitu; kebingungan terhadap dirinya sendiri.

Tetapi pertanyaannya adalah, seberapa banyak pelaku seni yang bisa menjaga ideologi seni-nya (nilai-nilai kepatutan secara ideologis), sehingga ketika di parlemen akan tetap memperjuangkan dan membantu proses percepatan keluarnya kebijakan politik lokal dalam konteks berkesenian? Sebab, ada fakta sebelumnya, duduknya ketua DKSS di Komisi E waktu itu, ternyata juga tidak mampu melahirkan kebijakan politik dalam berkesenian? Inilah yang mungkin menjadi ke-khawatiran Bur dan Nurhayat Arief Permana yang menolak adanya pelaku seni masuk di parlemen.

Dalam perjalanan memperjuangkan kebijakan politik lokal, saya ingin mengatakan pada Bur, yang mungkin tidak banyak mengetahui tentang sejarah dinamika, betapa pahitnya pelaku seni dalam memperjuangkan kebijakan politik lokal, sebagaimana dimaksud Teje dalam tulisannya pekan lalu. Bila kemudian kita kembali ke belakang, upaya memperjuangkan munculnya kebijakan politik lokal (Perda kesenian) di Sumsel sebagaimana keinginan Tewe, sebenarnya sudah dimulai sejak lahirnya Majelis Seniman Sumsel (MSS) melalui Kongres Seniman pada 8 Juni 2003 di Mess Pertiwi Palembang sebagai tindak lanjut dari Pentas Sastra Pelajar di SMU Bina Warga, yang dibidani cerpenis Purhendi dan pertemuan di Canang Galery, milik Magister Senirupa Erwan Suryanegara.

Bagi Bur, saya cukup maklum, karena mungkin tidak terlalu sering mengikuti catatan geliat pelaku seni dalam memperjuangkan hak-hak seniman di Sumsel. Tetapi terhadap Tewe, bagi saya agak lucu bila seorang jurnalis dan pelaku sastra ini kemudian mengatakan MSS belum berhasil menggagas Perda Kesenian. Sebab, ketika Perda Kesenian digagas MSS usai kongres, beberapa pelaku seni lainnya juga hadir, termasuk T Wijaya sendiri. Syukur alhamdulillah, sebagai sekretaris panitia kongres, sampai hari ini saya masih menyimpan arsip hasil kongres seniman itu. Paling tidak, arsip ini menjadi argumentasi, siapapun akan sulit membohongi saya terhadap perjuangan MSS yang dianggap belum berhasil menggagas Perda Kesenian. Bila bukti sejarah gagasan perda kesenian masih tersimpan, mestikah ada dusta diantara kita?

Secara pribadi, saya dulu ketika Johan Hanafiyah duduk di Komisi E DPRD Sumsel, yang notabene-nya juga sebagai ketua DKSS, seperti ada ’angin segar’ terhadap prospek iklim berkesenian di Sumsel. Tetapi harapan itu jauh panggang dari api. Draf Perda Kesenian yang sudah diajukan MSS ke Komisi E dan Gubernur Sumsel (Rosihan Arsyad-ketika itu), tidak juga ditindaklanjuti Komisi E. Oleh sebab itu, dalam konteks ini menurut saya bukan MSS yang mandul, tetapi Komisi E DPRD Sumsel yang ketika itu belum serius menindaklanjuti gagasan munculnya Perda Kesenian.

Oleh sebab itu terhadap Tewe, saya katakan lahirnya MSS bukan murni ide Nurhayat Arief Permana. Munculnya Arief sebagai ketua MSS bukan diatasnamakan dirinya sendiri, tetapi atas nama sejumlah pelaku seni yang menolak hasil Musda Baturaja, termasuk Tewe juga ikut menandatangani. Kedua, MSS lahir sebagai bentuk panitia persiapan untuk merebut DKSS, selagi DKSS masih ‘dikuasai’ seniman birokrat. Ada sebuah kesepakatan di tubuh MSS, saat rapat di kediaman Perupa Didi Kamil, yaitu; ketika DKSS sudah ‘direbut’ oleh pelaku seni yang mampu mengakomodir kebutuhan pelaku seni (MSS), maka tanpa ada komando dan upacara resmi, MSS akan segera dibubarkan. Kenapa? Karena tugas dan target MSS selesai! Bila lahirnya MSS merupakan kesepakatan bersama, mengapa di belakang hari Tewe kemudian menuduh ‘kemandegan’ MSS mempersalahkan terhadap satu orang? Lantas sebenarnya siapa yang menempatkan diri orang yang paling benar sebagaimana awal tulisan anda pekan lalu?

Tanjung Enim, 9 Desember 2008

Politikus Bukan Makhluk Seks

Politikus Bukan Makhluk Seksi,

Seniman Bukan Orang Suci

(Bom Waktu atas Tulisan Imron Supriyadi)

Oleh Muhammad Azhari

azhari-baruRomantika budaya lokal (Sumatera Selatan) mulai mencapai klimaks di penghujung tahun ini. Salah satu tandanya, yaitu kemunculan kembali konsep seputar politik dan kesenian yang dimuat surat kabar Sumatera Ekspres sejak akhir November 2008. Bermula dari pemikiran kritis bertajuk “Seniman dan Politikus” (16/11) oleh T Junaidi hingga mampu menjadikan wacana yang sudah diperdebatkan selama puluhan tahun lalu laksana gayung bersambut.

Dalam polemik tersebut, Imron Supriyadi sepertinya sudah terpancing di air keruh, saat tulisannya dimuat untuk kali kedua dengan judul “Perda Kesenian, Jangan Ada Dusta di antara Kita” (14/12) di harian yang disebutkan di atas. Semoga dasar pemikiran dan emosional yang ada bukan karena bunga-bunga tulisan Imron sebelum itu, “Seniman Harus Berpolitik” (23/11) telah dicampakkan oleh Nurhayat Arif Permana dengan tulisan berjudul “Seniman Berpolitik atau Politikus Berkesenian” (30/11) dan Burmansyah dalam artikel “Politik No, Seni Yes” (7/12).

Pleidoi (pembelaan) seni yang dilakukan oleh Imron menunjukkan bahwa sikap berkesenian semacam itu seperti “mati rasa”. Apakah Imron tidak bisa menghargai pilihan sadar orang lain dalam menentukan sikap berkesenian? Kenapa Imron terkesan selalu memaksakan kehendaknya untuk terus merayu dan menggoda seniman supaya mau berpolitik dan/atau masuk partai politik? Bagaimana pula Imron harus bersikeras seandainya politikus memang tidak mau diajak belajar seni, baik di dalam maupun di luar gedung parlemen? Jawabannya sederhana; persinggungan antara politik dan seni seyogianya didasarkan pada konteks kekinian dan berorientasi masa depan, bukan sekadar mengenang masa lalu.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat, seyogianya Imron memberikan kesempatan kepada politikus dan seniman untuk menentukan eksistensinya masing-masing. Toh, politikus bukan makhluk Tuhan yang paling seksi—pinjam lirik lagu Mulan Jameela—yang bisa setiap saat dielu-elukan seniman. Sebaliknya, seniman juga bukan orang suci yang senantiasa meneriakkan kebenaran di hadapan para politikus. Maka dari itu, Imron tidak bisa memandang sebelah mata terhadap konsep berkesenian T Junaidi, Arif, Burmansyah, bahkan Tewe, seperti membalikkan telapak tangan.

Demikian pula keempat orang itu dan penulis sendiri, tidak bisa melarang nawaitu Imron atau seniman lainnya untuk masuk partai politik dan/atau menjadi anggota dewan.

Secara sepihak, tanggapan Imron seakan menyudutkan Burmansyah—mungkin juga akan ditujukannya kepada penulis—sebagai pencinta seni pemula sehingga tidak banyak mengetahui nostalgia atau nostalgila kesenimanan Imron saat memperjuangkan politik lokal kala itu. Barangkali Imron tergolong berani meledakkan sendiri bom waktu kesenian di Sumatera Selatan yang masih carut-maut. Namun sayang, Imron seperti menunjukkan ketidakkonsistenannya dalam mendidik dan melakukan pembinaan; malah menghakimi pencinta seni yang jauh lebih muda dan lebih sedikit pengalaman darinya. Kecenderungan Imron mencampuri privacy seni orang lain yang lebih muda dalam berkesenian dan mengklaim primordialismenya sebagai sastrawan Tanjung Enim itu seharusnya dihadapkan dengan buku Kumpulan Puisi dan Cerpen Mereka Merentang Batas yang diterbitkan Dewan Kesenian Palembang (DKP) tahun 2007. Dari sana mungkin Imron sedikit menyadari bahwa telah lahir sederetan sastrawan muda seperti Dahlia, Duhita Ismaya Arimbi, Ikhtiar Hidayati, Pinasti S. Zuhri, Rendi Fadillah, Sena B Sulistya, Rifan Nazhif, dan lainnya yang kerap mengisi rubrik budaya pada berbagai media di Sumatera Selatan khususnya.

Pada mimbar ini, penulis memohon maaf apabila Imron kurang berkenan. Seandainya seniman itu tetap produktif berkarya, mungkin lebih enak membicarakan seni budaya secara lebih suntuk. Tapi, kalau seniman sibuk berpolitik, kapan seniman akan menciptakan karya secara profesional—bernilai jual sehingga mampu menghidupi seniman dan keluarganya; di samping bantuan atau hibah kebudayaan wajib dari pemerintah pusat atau daerah.

Kembali pada kiblat persoalan, persinggungan antara politik dan seni sudah ada sejak puluhan tahun silam. Pada masa revolusi Indonesia, tepatnya tanggal 18 Februari 1950 di Jakarta, para seniman dan budayawan yang dimotori Chairil Anwar dan Asrul Sani membuat Surat Kepercayaan Gelanggang dengan konsep yang menyatakan bahwa berjuang di kebudayaan sama pentingnya dengan perjuangan di medan perang. Kemudian, pada masa Demokrasi Liberal, tepatnya pada 17 Agustus 1950 berdiri pula Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berhaluan komunis dengan tokoh Pramoedya Ananta Toer dan Bakrie Siregar, di mana seni ditujukan untuk kepentingan politik. Selanjutnya, dalam membatasi ruang gerak Lekra dan intimidasi para politikus dari dalam dan luar negeri kala itu, maka para seniman dan budayawan merumuskan Manifes Kebudayaan tentang politik kebudayaan nasional yang ditandatangani HB Jassin dan kawan-kawan pada 17 Agustus 1963. Dari catatan sejarah tersebut, setidaknya menjadi perenungan bagi kita bahwa relevansi politik dan seni merupakan bagian terpenting dalam kebudayaan bangsa ini. Dengan kata lain, iklim kesenian yang dibangun oleh seniman dan budayawan tentu saja berdampak pada kehidupan berpolitik. Maka dari itu, pembangunan kebudayaan tidak mesti mengharuskan seniman masuk partai politik.

Sehubungan dengan itu, tahun 1989—1990 merupakan puncak perkembangan politik dunia. Invasi Amerika ke Panama, bebasnya Nelson Mandela dan kebangkitan rakyat Afrika Selatan, atau meletusnya perang Irak dan Kuwait atas intervensi Amerika Serikat, menunjukkan bahwa politik dapat dengan mudah menguasai modernitas, khususnya dalam bidang seni. Sementara, menurut Anthony Giddens (1985), modernitas itu sendiri dibangun oleh empat gugus institusi, yaitu kapitalisme, industrialisme, surveillance (organisasi di bawah pengawasan pemerintah/swasta/masyarakat), dan sistem militer. Maka dari itu, jika kita memperdebatkan wacana kritis tentang politik, perlu dikedepankan sociologically sensitive (mewaspadai akan transformasi institusi yang akan terjadi).

Dengan kata lain, konteks apa dulu yang melandasi masuknya politik dalam seni tentu harus dicermati; untuk kepentingan pribadi atau golongan; atau untuk pembangunan kebudayaan dalam suatu masyarakat.

Berkenaan dengan itu pula, harus ada keseimbangan jika kita ingin mengawinkan politik dengan seni, meliputi keseimbangan antara emancipatory politics (kebebasan berpolitik) dan life politics (kehidupan berpolitik); kemudian politicization of the local (kebijakan politik lokal) dan politicization of the global (kebijakan politik global). Dengan begitu, politik dan seni bisa sejalan dalam upaya pembangunan kebudayaan masyarakat di Sumatera Selatan pada khususnya.

Sekadar mengingatkan, Imron sepertinya perlu menggarisbawahi dulu, apa tidak ada kepentingan lain di balik kepentingannya menggagas seniman harus berpolitik—ingat tulisan Imron berjudul “Kemenangan ‘Aldy’ dan Babak Baru DKSS” (12/10) di harian yang sama—di mana Imron mencoba memprovokasi seniman untuk merebut kekuasaan secara revolusioner terhadap kinerja dan struktur DKSS pascakemenangan Aldy. Bisa saja Imron sekadar cari sensasi supaya bisa mendapat tempat di hati pasangan gubernur terpilih itu. Kalau benar, apa itu bukan dusta di balik dusta-dusta kebudayaan kita selama ini. Kalau salah, semoga Imron bisa berhasil memperjuangkan hak-hak seniman yang semakin termarginalkan. Selamat! (*)

Penulis adalah pencinta seni tinggal di Palembang

RESES HARUS BERWUJUD KARYA

Reses Harus Berwujud Karya

(Catatan Kecil atas Perdebatan Seni dan Politik di Sumatera Selatan)

Oleh Burmansyah

boman12

Menyimak perdebatan seputar polemik seniman dan politikus di media massa beberapa bulan ini terasa sungguh mengasyikkan. Sebagai pembaca dari kalangan awam, saya tertarik dengan setiap argumen para penulis yang notabenenya pelaku seni atau aktivis sosial yang ada di Palembang. Setelah menelaah tema publik dari dua media massa yang berbeda

—barangkali keduanya merupakan kompetitor dalam industri persuratkabaran—saya tergugah untuk menandai peristiwa budaya yang menjadi catatan kecil saya selama mengikuti proses berkesenian di kota ini.
Di harian Sumatera Ekspres, debat kusir itu diprakarsai oleh T Junaidi dengan tajuk “Seniman dan Politikus” (Sumeks, 16/11). Kemudian tulisan itu ditangapi oleh Imron Supriyadi dalam “Seniman Harus Berpolitik” (Sumeks, 23/11) yang disanggah oleh dua penulis berbeda, yaitu Nurhayat Arif Permana dalam “Seniman Berpolitik atau Politikus Berkesenian” (Sumeks, 30/11) dan saya sendiri dengan artikel “Politik No, Seni Yes” (Sumeks, 7/12).
Setelah itu, Imron Supriyadi meng-counter attack kembali dengan tulisan keduanya dengan artikel berjudul “Perda Kesenian, Jangan Ada Dusta di antara Kita” (Sumeks, 14/12). Akan tetapi, gagasan Imron memprovokasi seniman harus berpolitik dan masuk parlemen atau partai politik diimbangi oleh Muhamad Azhari dalam tulisan berjudul “Politikus Bukan Makhluk Seksi, Seniman Bukan Orang Suci” (Sumeks, 21/12) untuk mengembalikan hakikat seniman dan politikus pada eksistensinya masing-masing.
Sementara itu, di harian Berita Pagi, Tarech Rasyid pun mengobarkan api perdebatan yang menyoal peristiwa pertemuan seniman dan politikus dalam tulisannya “Aksara Kaganga = Identias Kultural Lokal” (BP,15/11).Kemudian tulisan Tarech direspons oleh Vebri Al Lintani dengan artikel “Merumuskan Strategi Kebudayaan” (BP, 13/12). Gayung pun bersambut, tulisan Tarech yang membandingkan persinggungan kebudayaan dan politik tersirat dalam artikel Toni SSos yang berjudul “Politik = Kebudayaan” (BP, 19/12). Selanjutnya, menyusul tulisan Faisal B SH dengan artikel “Kemesraan Seni dan Politik” (BP, 20/12) yang secara garis besar menekankan adanya kerja sama antara seniman dan politikus.
Dari perbincangan panjang seniman dan politikus pada kedua media tersebut, setidaknya menunjukkan proyeksi tahun 2009, di mana pesta demokrasi bakal dihelat oleh bangsa Indonesia, masyarakat Sumsel khususnya. Akan tetapi, kontroversi tematik antara seniman dan politikus disinyalir hanya sebatas lips service dan isu yang dipolitisir untuk mengembuskan kepentingan tertentu tanpa ada follow up atau penyelesaian akhir atau dampak yang dapat dijadikan pelajaran bagi generasi yang akan datang. Dalam hal ini, Mustafa Kamal yang disoroti sebagai anggota DPR RI saat resesnya ke Sumatera Selatan atau Djohan Hanafiah yang kerap disebut-sebut sebagai ikon DKSS oleh para seniman Sumatera Selatan diharapkan dapat urun rembuk dalam mimbar seperti ini.
Seniman dan politikus Sumatera Selatan pun harus bertanggung jawab atas wacana yang sudah dilempar ke masyarakat. Konkretnya, kalau memang kapasitas Mustafa Kamal sebagai wakil rakyat yang mengaku peduli terhadap kebudayaan Sumatera Selatan, mana komentar Anda dalam bentuk tulisan? Bila perlu jadikan tulisan Anda itu dalam bentuk buku sehingga dapat diapresiasi masyarakat seni Sumatera Selatan secara ilmiah dan alamiah, bukan sebatas kepentingan pribadi atau golongan. Selamat Tahun Baru, 1 Muharram 1430 Hijriah.(*)

Penulis adalah penikmat karya seni di Palembang

Seniman dan Poliikus

Seniman Dan Politikus

T Junaidi

  • Wartawan Sumatera Ekspres dan Komunitas Seni

Mengikuti dialog seniman dan politikus di rumah makan Pagi Sore, Kamis (13/11) membuat otak saya berputar untuk menerjemahkan ‘Ada Apa Seniman dan Politikus?’ Pertemuan yang dihadiri para seniman gaek Sumsel ini merupakan pertemuan dalam rangka reses anggota DPR-RI Mustafa Kamal, dipandu Febri Al Lintani dan Anwar Putra Bayu. Tema yang diangkat adalah ‘Peran Budaya Lokal dalam Membangun Jiwa Bangsa’.

Mendengar topik yang dibicarakan itu, saya langsung tertarik, karena baru kali ini saya menjumpai dialog seniman bersama kalangan politikus. Pertanyaan simple di atas rasanya wajar, karena reportase saya sebagai wartawan yang merangkap sebagai komunitas seni. Seniman dan politikus, merupakan dua serangkai yang mestinya saling melengkapi.

Tapi pada kenyataannya, seniman selalu menjadi manusia yang termarginalkan dan selalu menjadi pelengkap kepentingan politik, dan kebijakan pemerintah. Seniman seperti bola mainan yang ditendang ke sana kemari. Pada saat dibutuhkan, seniman dielus-elus dan diangkat derajadnya agar seni memainkan bola bisa menggelinding cantik ke gawang lawan.

Maaf, saya tidak apatis mengikuti pertemuan seniman dan politikus di RM Pagi Sore itu. Tidak juga terlalu idealis menilai sebuah konspirasi politik menuju pemilu 2009--seperti dikatakan Yan Romain Hamid (seniman teater), terlepas dari masalah politik. Lupakanlah itu, yang terpenting bagaimana membangun seni budaya lokal secara konkret.

''Kenapa tidak sejak dulu peran budaya lokal ini diperhatikan. Kenapa ketika di ujung masa jabatan baru teringat seniman dan peran seni budaya lokal? Jangan sampai masalah tempe atau pempek akhirnya juga diakui Malaysia dan Jepang,'' kata Yan Romain. Terlepas dari muatan politis, saya menangkap sisi positifnya saja; ya semuanya baik.

Dialog seni baik. Merumumuskan kebijakan seni budaya secara politik, juga baik. Setidaknya itu yang ditunggu-tunggu di saat seni budaya lokal 'nyaris' kehilangan jati diri. Harapan kita, lewat dialog seni tersebut harus bisa diwujudkan menjadi agenda konkret sebagai upaya menguatkan keberadaan peran budaya lokal di tengah gerusan budaya modern. Pemerintah daerah, legislatif, seniman harus lebih serius memperhatikan seni budaya Sumsel.

Jika diperlukan, pemda membuat peraturan daerah (perda) untuk membangun keberadaan budaya lokal tersebut. Seni budaya lokal ini kalau kita terjemahkan adalah berbagai kegiatan tradisional lokal, masyarakat budaya yang mempertegas substansi sebagai sebuah kebudayaan.

Diakui atau tidak, banyak seni budaya Sumsel yang terancam punah. Sastra tutur yang sudah ada sejak dulu, kini berangsur-angsur hilang. Dulmuluk juga nyaris tercerabut dan tinggal nama. Lantas apalagi yang bakal digerus oleh budaya-budaya global? Semangat, kepedulian dan komitmen wakil rakyat dan pemerintah daerah, harus didukung sepenuhnya oleh para pelaku seni, yang merupakan matarantai yang tidak boleh diputus.

Kebijakan politik lokal terhadap program seni budaya tidak bisa dilepaskan dari konsep politik kebudayaan yang mencakup ruang lingkup di dalamnya, yaitu masyarakat, seniman, budayawan, lalu lembaga negara, eksekutif dan legislatif. Konsep tersebut lantas dirumuskan ke dalam sebuah kebijakan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Proses kehidupan yang didesain dan di-setting berkelanjutan, kemudian dijalankan secara terus-menerus oleh masyarakat, itulah proses yang akan membentuk menjadi budaya lokal. Proses pengambilan keputusan yang tidak sejalan kadang dianggap menjadi batu sandungan.

Tak heran kalau kebijakan bidang kebudayaan sering termarginalkan. Apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan formal DPR atau pemerintah/birokrasi, kurang mampu menegaskan otoritas identitas budaya lokal, antara modernisme dan tradisionalisme atau antara pra-modern dengan post-modern. Kebijakan peraturan daerah (Perda), termasuk program seni budaya, seharusnya diorientasikan pada nilai kultural.

Meminjam pendapat JJ Polong, seniman yang juga aktivis petani, membicarakan seni budaya lokal, harus didasari pengetahuan lokal dan kearifan lokal. Kita baru merasa gelisah setelah kebudayaan lokal tergerus oleh kebudayaan yang lain. Bagaimana masyarakat pelaku budaya mampu menjadi koridor budaya lokal yang berbasis pada kearifan lokal? Apapun kebijakan kebudayaan dalam mencitrakan Sumsel, harus berorientasi pada pengembangan lokalitas yang berbasis pengetahuan lokal.

''Ketika orang lain baru bisa mengasapi ikan, Palembang ternyata sudah bisa bikin pempek,'' kata JJ Polong. Pengetahuan local dan kearifan lokal ini sebagai bagian dari harga tawar kesenian dan budaya lokal, untuk menentukan frame dan posisi ke depan di tengah arus gempuran kebudayaan global. Politik merupakan 'sarana' untuk mencapai 'tujuan' kebudayaan. Persoalannya, apakah tujuan itu sudah dirumuskan dengan baik dan jelas? Apakah sudah bisa dipahami bersama antara seniman, legislative, eksekutif dan masyarakat?

Jangan-jangan ini hanya dialog warung kopi belaka. Hari ini ngobrol kebudayaan, ketemunya di warung kopi yang sama dengan topik yang berbeda. Yang penting adalah manifestasinya membangun seni budaya lokal agar tetap eksis dan punya peran.

Saya pernah membaca festival seni budaya yang digelar di halaman Museum Benteng Kuto Besak (BKB) beberapa waktu lalu. Pergelaran tersebut sangat memprihatinkan. Mengapa, karena nyaris tidak ada penontonnya, kecuali para wartawan yang memang mendapat tugas liputan. Peristiwa budaya seperti ini bagai menepuk air didulang, terpercik dimuka kita sendiri.

Kita mengagung-agungkan seni budaya sekaligus sebagai tuan rumah kunjungan wisata, tapi pergelaran gratis untuk umum itu justru tidak ditonton masyarakat. Padahal pergelaran seni budaya tersebut diikuti sejumlah grup dari berbagai propinsi di Sumatera. Tanya mengapa? Apakah pergelarannya kurang baik?

Saya sendiri sering terjangkit penyakit lupa, bahwa di depan mata kita ada ribuan produk seni lokal yang bisa mencitrakan Sumsel ke tingkat Internasional. Tapi saya juga lupa bagaimana caranya? Kita harus kembali kepada tanggungjawab moral kita terhadap seni budaya lokal milik kita. Pengetahuan lokal dan kearifan local. Kembali pada konsep politik kebudayaan yang mencangkup ruang lingkup didalamnya, ya seniman, ya budayawan, ya lembaga negara, ya eksekutif, ya legislative.

Kasus ‘Pergelaran Seni Budaya’ tanpa penonton’, harus dijadikan pertanyaan buat kita sendiri, mengapa? Kalau masyarakat belum tahu bakal ada pergelaran seni, mestinya ya harus disosialisasikan. Kalau sudah disosialisasikan masih tidak ada yang nonton, mungkin waktunya yang tidak pas. Bila waktunya sudah pas masih juga tidak ditonton? Ya inilah PR kita bersama! Mengapa?