DEBAT 'SENIMAN DAN POLITIKUS'


Seniman dan Politikus, makhluk apakah dia. Pro-kontra seniman bermain di wilayah partai politik dan politikus mengobok-obok seniman, menjadi perdebatan panjang dan mengasyikkan di Harian Sumatera Ekspres. Perdebatan ini semula dari pertemuan seniman dan politikus di RM Pagi Sore (13/11/2008) yang diprakarsai anggota DPR RI Mustafa Kamal dari partai PKS. Dari reportase pertemuan itu, saya gulirkan lewat tulisan ‘SENIMAN DAN POLITIKUS’ di rubrik HORISON Harian Sumatera Ekspres. Tanggapan pun beragam, sebagian seniman setuju seniman masuk wilayah politik, sebagian lagi menolak seniman berpolitik. Nah bagaimana dengan Anda? Silakan Berdebat yang sehat, santun, dan berpikir merdeka. Artikel Debat Sumeks bisa dikirim via teje@sumeks.co.id atau teje21@yahoo.co.id. Semua artikel yang dimuat Harian Sumatera Ekspres akan diposting kembali di blog ini.


Debat berikutnya MENUJU INDUSTRI SENI.


Redaksi


@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Seniman Dan Politikus

T Junaidi

  • Wartawan Sumatera Ekspres dan Komunitas Seni

Mengikuti dialog seniman dan politikus di rumah makan Pagi Sore, Kamis (13/11) membuat otak saya berputar untuk menerjemahkan ‘Ada Apa Seniman dan Politikus?’ Pertemuan yang dihadiri para seniman gaek Sumsel ini merupakan pertemuan dalam rangka reses anggota DPR-RI Mustafa Kamal, dipandu Febri Al Lintani dan Anwar Putra Bayu. Tema yang diangkat adalah ‘Peran Budaya Lokal dalam Membangun Jiwa Bangsa’.

Mendengar topik yang dibicarakan itu, saya langsung tertarik, karena baru kali ini saya menjumpai dialog seniman bersama kalangan politikus. Pertanyaan simple di atas rasanya wajar, karena reportase saya sebagai wartawan yang merangkap sebagai komunitas seni. Seniman dan politikus, merupakan dua serangkai yang mestinya saling melengkapi.

Tapi pada kenyataannya, seniman selalu menjadi manusia yang termarginalkan dan selalu menjadi pelengkap kepentingan politik, dan kebijakan pemerintah. Seniman seperti bola mainan yang ditendang ke sana kemari. Pada saat dibutuhkan, seniman dielus-elus dan diangkat derajadnya agar seni memainkan bola bisa menggelinding cantik ke gawang lawan.

Maaf, saya tidak apatis mengikuti pertemuan seniman dan politikus di RM Pagi Sore itu. Tidak juga terlalu idealis menilai sebuah konspirasi politik menuju pemilu 2009–seperti dikatakan Yan Romain Hamid (seniman teater), terlepas dari masalah politik. Lupakanlah itu, yang terpenting bagaimana membangun seni budaya lokal secara konkret.

”Kenapa tidak sejak dulu peran budaya lokal ini diperhatikan. Kenapa ketika di ujung masa jabatan baru teringat seniman dan peran seni budaya lokal? Jangan sampai masalah tempe atau pempek akhirnya juga diakui Malaysia dan Jepang,” kata Yan Romain. Terlepas dari muatan politis, saya menangkap sisi positifnya saja; ya semuanya baik.

Dialog seni baik. Merumumuskan kebijakan seni budaya secara politik, juga baik. Setidaknya itu yang ditunggu-tunggu di saat seni budaya lokal ‘nyaris’ kehilangan jati diri. Harapan kita, lewat dialog seni tersebut harus bisa diwujudkan menjadi agenda konkret sebagai upaya menguatkan keberadaan peran budaya lokal di tengah gerusan budaya modern. Pemerintah daerah, legislatif, seniman harus lebih serius memperhatikan seni budaya Sumsel.

Jika diperlukan, pemda membuat peraturan daerah (perda) untuk membangun keberadaan budaya lokal tersebut. Seni budaya lokal ini kalau kita terjemahkan adalah berbagai kegiatan tradisional lokal, masyarakat budaya yang mempertegas substansi sebagai sebuah kebudayaan.

Diakui atau tidak, banyak seni budaya Sumsel yang terancam punah. Sastra tutur yang sudah ada sejak dulu, kini berangsur-angsur hilang. Dulmuluk juga nyaris tercerabut dan tinggal nama. Lantas apalagi yang bakal digerus oleh budaya-budaya global? Semangat, kepedulian dan komitmen wakil rakyat dan pemerintah daerah, harus didukung sepenuhnya oleh para pelaku seni, yang merupakan matarantai yang tidak boleh diputus.

Kebijakan politik lokal terhadap program seni budaya tidak bisa dilepaskan dari konsep politik kebudayaan yang mencakup ruang lingkup di dalamnya, yaitu masyarakat, seniman, budayawan, lalu lembaga negara, eksekutif dan legislatif. Konsep tersebut lantas dirumuskan ke dalam sebuah kebijakan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Proses kehidupan yang didesain dan di-setting berkelanjutan, kemudian dijalankan secara terus-menerus oleh masyarakat, itulah proses yang akan membentuk menjadi budaya lokal. Proses pengambilan keputusan yang tidak sejalan kadang dianggap menjadi batu sandungan.

Tak heran kalau kebijakan bidang kebudayaan sering termarginalkan. Apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan formal DPR atau pemerintah/birokrasi, kurang mampu menegaskan otoritas identitas budaya lokal, antara modernisme dan tradisionalisme atau antara pra-modern dengan post-modern. Kebijakan peraturan daerah (Perda), termasuk program seni budaya, seharusnya diorientasikan pada nilai kultural.

Meminjam pendapat JJ Polong, seniman yang juga aktivis petani, membicarakan seni budaya lokal, harus didasari pengetahuan lokal dan kearifan lokal. Kita baru merasa gelisah setelah kebudayaan lokal tergerus oleh kebudayaan yang lain. Bagaimana masyarakat pelaku budaya mampu menjadi koridor budaya lokal yang berbasis pada kearifan lokal? Apapun kebijakan kebudayaan dalam mencitrakan Sumsel, harus berorientasi pada pengembangan lokalitas yang berbasis pengetahuan lokal.

”Ketika orang lain baru bisa mengasapi ikan, Palembang ternyata sudah bisa bikin pempek,” kata JJ Polong. Pengetahuan local dan kearifan lokal ini sebagai bagian dari harga tawar kesenian dan budaya lokal, untuk menentukan frame dan posisi ke depan di tengah arus gempuran kebudayaan global. Politik merupakan ’sarana’ untuk mencapai ‘tujuan’ kebudayaan. Persoalannya, apakah tujuan itu sudah dirumuskan dengan baik dan jelas? Apakah sudah bisa dipahami bersama antara seniman, legislative, eksekutif dan masyarakat?

Jangan-jangan ini hanya dialog warung kopi belaka. Hari ini ngobrol kebudayaan, ketemunya di warung kopi yang sama dengan topik yang berbeda. Yang penting adalah manifestasinya membangun seni budaya lokal agar tetap eksis dan punya peran.

Saya pernah membaca festival seni budaya yang digelar di halaman Museum Benteng Kuto Besak (BKB) beberapa waktu lalu. Pergelaran tersebut sangat memprihatinkan. Mengapa, karena nyaris tidak ada penontonnya, kecuali para wartawan yang memang mendapat tugas liputan. Peristiwa budaya seperti ini bagai menepuk air didulang, terpercik dimuka kita sendiri.

Kita mengagung-agungkan seni budaya sekaligus sebagai tuan rumah kunjungan wisata, tapi pergelaran gratis untuk umum itu justru tidak ditonton masyarakat. Padahal pergelaran seni budaya tersebut diikuti sejumlah grup dari berbagai propinsi di Sumatera. Tanya mengapa? Apakah pergelarannya kurang baik?

Saya sendiri sering terjangkit penyakit lupa, bahwa di depan mata kita ada ribuan produk seni lokal yang bisa mencitrakan Sumsel ke tingkat Internasional. Tapi saya juga lupa bagaimana caranya? Kita harus kembali kepada tanggungjawab moral kita terhadap seni budaya lokal milik kita. Pengetahuan lokal dan kearifan local. Kembali pada konsep politik kebudayaan yang mencangkup ruang lingkup didalamnya, ya seniman, ya budayawan, ya lembaga negara, ya eksekutif, ya legislative.

Kasus ‘Pergelaran Seni Budaya’ tanpa penonton’, harus dijadikan pertanyaan buat kita sendiri, mengapa? Kalau masyarakat belum tahu bakal ada pergelaran seni, mestinya ya harus disosialisasikan. Kalau sudah disosialisasikan masih tidak ada yang nonton, mungkin waktunya yang tidak pas. Bila waktunya sudah pas masih juga tidak ditonton? Ya inilah PR kita bersama! Mengapa?

Minggu, 04 Januari 2009

Mencari Perawan di Sarang Pelacur

Mencari Perawan di Sarang Pelacur

* Mengakhiri DEBAT ‘Seniman dan Politikus’

T Junaidi

Jurnalis Harian Sumatera Ekspres dan Komunitas Seni



Mencermati perdebatan seputar ‘Seniman dan Politikus’ di Harian Sumatera Ekspres belakangan ini, telah membuka wacana baru dan kian menggelitik (baca: menghibur). Beragam pemikiran kritis mengenai seniman dan politikus, ibarat gayung pun bersambut. Ada yang mendukung seniman ‘nyemplung’ di gelanggang politik, namun ada juga yang kurang setuju seniman berpolitik. Yang tidak mendukung berpolitik berharap seniman tetap berada diwilayah independen dan mengedepankan karya seni, sekaligus bisa mengkritisi siapa saja tanpa dibayang-bayangi kepentingan politik.

Saya yang kali pertama menggulirkan perdebatan ini dengan artikel berjudul ‘Seniman dan Politikus’. Artikel ini merupakan hasil reportase saya dari pertemuan para seniman Sumsel bersama anggota DPR-RI Mustafa Kamal dan Mohammad Emnis Anwar dari partai PKS di Rumah Makan (RM) Pagi Sore, Kamis (13/11). Lewat dialog seni tersebut diharapkan bisa mewujudkan agenda konkret sebagai upaya menguatkan keberadaan peran budaya lokal di tengah gerusan budaya modern. Pemerintah daerah, legislatif, dan seniman, harus lebih serius memperhatikan seni budaya Sumsel. Bahkan bila perlu, pemda membuat peraturan daerah (perda) untuk membangun keberadaan budaya lokal tersebut.

Politik merupakan ’sarana’ untuk mencapai ‘tujuan’ kebudayaan. Persoalannya, apakah tujuan itu sudah dirumuskan dengan baik dan jelas? Itulah yang saya catat dari pertemuan kecil seniman dan politikus itu. Berpijak pada dua ranah yang berbeda (baca: seniman dan politikus), maka Azhari, yang mengaku sebagai pendatang baru peminat seni, tergelitik untuk nimbrung dengan artikelnya berjudul ‘Politik Bukan Makhluk Seksi, Seniman Bukan Orang Suci’ Sumeks (21/11)--setelah sebelumnya Imron yang menuangkan idenya lewat ‘Seniman Harus Berpolitik’ Sumeks (23/11) dan kemudian ditanggapi Nurhayat Arif Permana dengan judul “Seniman Berpolitik atau Politikus Berkesenian” (30/11).

Dari perdebatan itu, seperti membangkitkan kembali ‘jiwa-jiwa’ liar kita yang tertidur lelap sekian lama. Lalu Burmansyah pun ambil bagian lewat artikelnya berjudul “Politik No, Seni Yes” Sumeks (7/12), yang akhirnya perdebatan mulai melebar.

Saya menjadi sangat tertarik dengan ‘pertempuran imajinatif’ ini. Apalagi dihadapkan pada artikel Azhari berjudul Politik Bukan Makhluk Seksi, Seniman Bukan Orang Suci, yang secara tegas meluruskan Imron untuk tidak ‘memaksa’ seniman masuk partai politik. Seniman juga manusia biasa, bisa seksi tapi tidak suci. Biarlah seniman dengan hak-haknya untuk berpolitik atau tidak berpolitik. Semua tergantung nawaitunya.

Sebuah primordial yang kerap menjangkiti para pelaku seni seperti saya. Pengalaman pahit seniman zaman orde baru, jangankan mau pentas, mau latihan saja selalu dikejar-kejar intel. Dibubarkan secara paksa. Kalau perlu ditangkap. Dipenjarakan atau dihilangkan nyawanya. Ingat sastrawan Wiji Thukul? Sampai sekarang tidak ada kabar rimbanya. Inilah pengalaman pahit korban kebijakan politik negeri kita. Barangkali latarbelakang inilah yang memotivasi sebagian seniman harus masuk partai politik agar bisa memperjuangkan kepentingan seniman. Tapi hal ini dipertanyakan Burmansyah, jika seniman berpolitik sebenarnya mewakili siapa? Mewakili Partai atau seniman?

Dan ketika perdebatan ini kian hangat--seniman dibenturkan ke dunia politik-- teman-teman seniman lainnya langsung terbelalak dan kaget. Seniman berpolitik, mengapa kaget? Sebenarnya sah-sah saja. Seniman masuk ke wilayah apa saja hukumnya tidak haram. Bisa masuk partai politik, masuk birokrat, bahkan masuk tentara sekalipun.

Meminjam pendapat Anwar Putra Bayu (Sastrawan Sumsel) seniman berpolitik mengapa tidak. ‘’Karena doktrin manusia zoon politicon, dengan rasa peduli dan memperdulikan, sah-sah saja. Dengan masuk ke wilayah politik, seniman bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat, terutama masalah seni dan budaya,’’ ujar Anwar disela-sela dialog seni di Side Restaurant Benteng Kuto Besak, Sabtu (27/12). Dialog seni ini kali kedua digelar oleh anggota DPR RI Mustafa Kamal, setelah sebelumnya di RM Pagi Sore awal November lalu--yang memunculkan perdebatan panjang di Sumeks.

Idealis seniman, kata Bayu, tetap dipertahankan kendatipun pelaku seni sudah merambah wilayah politik. Perbedaan wilayah kreatif ini tidak perlu ditakutkan. Sama ketika seni budaya dibenturkan ke wilayah lain, yaitu menuju seni industri. Sudah saatnya kok seni budaya kita masuk wilayah industri, meski konsekwensinya kita harus berpikir nilai jual. Kembali masalah karya idealis, lanjut Bayu, tetap ditempatkan ke wilayah ‘terhormat’ meskipun nantinya ibarat mencari ‘Perawan di Sarang Pelacur’. Artinya kita mencari seniman idealis di tengah seni-seni industri atau para seniman politikus, mana yang idealis dan bukan idealis. Ini bukan berarti seniman takut miskin seperti dikawatirkan T Wijaya, atau seniman tak bisa berkarya lebih focus bila berpolitik, seperti dikawatirkan Burmansyah.

Lantas bagaimana bila seniman benar-benar masuk dalam partai politik? Apakah juga sama mencari perawan di sarang pelacur? Pada dasarnya juga sama. Sejak 1999 hingga 2004, tren seniman berpolitik benar-benar sangat terasa. Sejumlah artis kini berani jadi anggota partai politik. Ada Wanda Hamidah, model dan artis sinetron, Mieke Wijaya, pemeran Bu Broto dalam sinetron seri Losmen, Rano Karno serial Si Doel Anak Sekolahan, Dede Yusuf actor laga, Penyanyi Hetty Koes Endang, Yoseano Waas, Renny Djajoesman, dan penyanyi dangdut Machica Mochtar.

‘Di zaman baru merdeka’ ini, memang tak cuma goyang pinggul, sejumlah seniman maupun artis lainnya yang terlalu panjang untuk disebutkan satu per satu masuk partai politik. Nah, misalkan mereka (para seniman) nanti jadi calon anggota legislatif, dan berhasil menjadi anggota DPR, sekaligus anggota MPR, pertanyaanya apakah orang semacam mereka semakin bulat menjadi politikus atau seniman partai? Pertanyaannya akan menjadi lain bila para seniman yang terpilih menjadi utusan golongan mewakili seniman, budayawan, cendekiawan, dan ilmuwan.

Utusan golongan budayawan dan seniman ini penting, karena selama ini banyak seniman yang alergi kepada proses politik yang mengakibatkan aspirasi mereka tak terwakili. Sebutlah, dramawan kondang Rendra selama ini selalu independen, dan "berumah di atas angin". Sekali lagi, kita tidak haram melirik partai politik, dan tidak berdosa menjauhi partai politik.

Memasuki wilayah politik mungkin dapat memperbaiki hati dan jiwa politik. Dengan sekalian menerjuni politik mungkin para seniman dapat mengenalkan pentingnya kesenian dan kebudayaan kepada orang-orang politik. Agar semuanya tak terpuruk ke dalam kategori kekeliruan adalah sifat khas politik. Namun justru karena kepercayaan bahwa politik memiliki sisi baik, yang akan semakin baik apabila setiap hari dibasuh oleh air-air seni (bukan kencing). Sementara kesenian boleh diclaim baik (bila berat untuk mengatakan makhluk suci, seperti kata Azhari) lantaran seni pada hakekatnya memang dilahirkan dengan hasrat bebas mengetengahkan aspek aspek terindah dari hati nurani manusia, tanpa pretense lain. Dalam syair Islam menyebutkan Innallaha jamilun, yuhibbu ila jamal (Allah maha indah dan tidak diterima kecuali yang indah-indah saja).

Sebuah fenomena yang logis memang, pada akhirnya seniman menelusup di dalamnya. Tapi sungguh tidak semua seniman ingin terlibat dalam pergulatannya. Charist Movement, organisasi gerakan pembaruan social dan politik di Inggris akhir abad ke-18 berpandangan bahwa kekuatan politik cuma sarana, sedang kebahagiaan social adalah tujuannya.

Para seniman yang langsung melihat ujung perspektif politik agaknya bisa segera percaya kepada kebenaran kata-kata itu. Dengan demikian para seniman berkeyakinan apa salahnya masuk wilayah partai politik atau tidak sama sekali. Kedua dunia itu tak ada dosanya, ibarat seorang sastrawan yang hobi main sepak bola. Di panggung dia membaca puisi, di lapangan hijau dia menggiring bola. Dua dunia yang berbeda, tapi disukainya. Yang berpolitik dan tidak, sama-sama tidak berdosa. Sebab siapa yang berani menjamin seniman yang tak berpolitik akan semakin produktif dan benar-benar melahirkan karya idealis? Sebailknya siapa yang berani menjamin seniman berpolitik benar-benar bisa memperjuangkan dunia seni? Hal itu tergantung individu seniman. Nawaitu masing-masing. Ada benarnya seniman berpandangan; Bagaimana supaya masyarakat lebih gampang mencari perawan bukan di sarang pelacur. (*)